Kemiskinan memunculkan gelandangan, pengemis dan anak
jalanan di perkotaan. Kegagalan keluarga bukan mustahil menjadi penyebab lain
munculnya anak jalanan. Banyak anak jalanan muncul akibat kelahiran yang tidak
dikehendaki. Bisa juga akibat dendam kepada bapak/ibunya kemudian menelantarkan
anaknya. Atau ada anak melarikan diri dari rumah akibat disharmonisasi
ibu-bapaknya. Kegagalan ini bisa mendorong berkumpulnya anak jalalanan dengan
keragaman problematika yang dialami untuk kemudian saling mengisi dan mendidik
satu sama lain. Dampaknya anak jalanan akan semakin menjadi persepsi buruk
terhadap pihak lain di luar golongan mereka. Oleh sebab itu mereka menjadi
rentan dengan penyakit sosial, termasuk kriminalitas, penyimpangan seksual, dan
trafficking.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Anak memiliki hak khusus menurut hukum internasional dan hukum
Indonesia dan pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk melindungi
anak–anak dari eksploitasi dan segala tindak kekerasan.
Berikut ini adalah beberapa jenis kekerasan yang biasa
terjadi pada anak, khususnya dikalangan anak-anak jalanan :
• Kekerasan
fisik
Bentuk ini paling mudah dikenali terkategorisasi sebagai
kekerasan jenis ini adalah menampar, menendang, memukul, mencekek, mendorong,
menggigit, membenturkan, mengancam dengan benda tajam dan sebagainya. Korban
kekerasan jenis ini biasanya tanpak secara langsung pada fisik korban seperti
luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan dan bentuk lain yang kondisinya
lebih parah. Kondisi ini sering terjadi pada anak-anak yang kurang atau tidak
mendapat pengawasan dari keluarga dan juga dari masyarakat di sekitarnya
seperti yang terjadi pada anak-anak jalanan.
• Kekerasan
psikis
Kekerasan jenis ini tidak begitu mudah untuk dikenali.
Akibat yang dirasakan oleh anak yang menjadai korban tidak memberikan bekas
yang tanpak jelas bagi orang lain. Dampak kekerasan jenis ini akan berpengaruh
pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri serta
martabat korban. Wujud konkrit kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah
penggunaan kata-kata kasar penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan anak
didepan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengan kata-kata dan
sebagainya. Akibat adanya perilaku tersebut biasanya korban merasa rendah diri,
minder, merasa tidak berharga dan lemah dalam membuat keputusan (Decission
making).
• Kekerasan
Seksual
Kekerasan seksual yang dialami oleh anak jalanan termasuk
pelecehan seksual seperti diraba-raba, diajak melakukan hubungan seksual,
disodomi dan dipaksa melakukan hubungan seksual dan lain sebagainya
• Kekerasan
Ekonomi
Pada anak-anak kekerasan jenis ini sering terjadi ketika
orang tua memaksa anak yang masih berusia dibawah umur untuk dapat memberikan
kontribusi ekonomi keluarga, sehingga fenomena penjual koran, pengamen jalanan,
pengemis anak bahkan dapat pula berupa tindakan kriminal seperti pemalakan, pencopetan
dan lain-lain kian merebak terutama diperkotaan.
Dalam UU 23/02 tentang Perlindungan Anak, pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana
dalam penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 22). Demikian juga masyarakat
yang diwujudkan melalui kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (pasal 25). Sedangkan orang tua bertanggung jawab mengasuh
memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuh-kembangkan anak sesuai
dengan kemampuan, bakat dan minat serta mencegah terjadinya perkawinan pada
usia anak-anak (pasal 26). Selain itu jika orang tua mereka tidak mampu untuk
melaksanakan tanggung jawabnya, maka anak jalanan menjadi tanggung jawab
pemerintah (pasal 45 ayat 2 UU 23/02).
Ketentuan pidana
Berikut adalah
beberapa ketentuan pidana atas pelanggaran dan tindakan kejahatan mengenai anak
:
• Pasal 77 UU
no.23/02 mengenai tindakan diskriminasi, penelantaran yang mengakibatkan anak
mengalami sakit baik fisik maupun mental dapat dipidanakan dengan kurungan
penjara paling lama 5( lima) tahun atau denda Rp. 100.000.000,00- (seratus juta
rupiah)
• Pasal 80 UU
no.23/02
(1) Setiap orang
yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan
terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua
juta rupiah).
(2) Dalam hal anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
Kehadiran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di
daerah semakin penting untuk mensosialisasikan peraturan yang berkaitan dengan
perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak. Tanpa sinergi dan kerja sama dengan pihak
terkait lainnya, KPAI pun tidak mungkin bisa bekerja dengan maksimal.
Siapakah anak itu? Pasal 1 ayat 1 UU No.23/2002 menyebutkan,
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Pasal 1 KHA/Keppres No. 36/1990 menyatakan, Anak
adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang
berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Senada
dengan itu, Pasal 1 ayat 5 UU No. 39/1999 tentang HAM mengatakan, Anak adalah
setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak
yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian
penuh terhadap perlindungan anak karena dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945
pasal 28b ayat 2 disebutkan, Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Sedangkan Pasal 34 (1) berbunyi, Fakir miskin dan anak telantar
dipelihara oleh negara. Di sisi lain, perlindungan terhadap keberadaan anak
ditegaskan secara eksplisit dalam 15 pasal yang mengatur hak-hak anak dan pasal
52 – 66 UU No. 39/1999 tentang HAM.
Secara umum dapat dikatakan, secara kuantitatif UU sudah
memberikan perlindungan kepada anak-anak. Akan tetapi, implementasi peraturan
perundang-undangan tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini
disebabkan antara lain oleh pertama, upaya penegakan hukum masih mengalami
kesulitan. Kedua, harmonisasi berbagai UU yang memberikan perlindungan kepada
anak dihadapkan pada berbagai hambatan. Ketiga, sosialisasi peraturan
perundang-undangan kepada masyarakat belum sepenuhnya dapat dilakukan dengan
baik. Terakhir, keempat, kebijakan pemerintah lebih banyak berorientasi kepada
pemenuhan dan perlindungan hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sayangnya, banyaknya peraturan itu tidak didukung dengan
implementasinya.
Harus diakui, keberadaan anak-anak merupakan mayoritas di
negeri ini. Karenanya diperlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan
kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak
asasi anak belum sepenuhnya terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa
konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya. Berbagai bukti empiris
menunjukkan bahwa masih dijumpai anak-anak yang mendapat perlakuan yang belum
sesuai dengan harapan. Kendalanya antara lain, kurangnya koordinasi
antarinstansi pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan
kemiskinan yang masih dialami masyarakat.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan beberapa
langkah strategis. Pertama, sudah saatnya legislatif dan eksekutif memasukkan
Kementerian Khusus Anak dalam RUU Kementerian Negara yang sedang dibahas dalam
Panitia Khusus (Pansus-RUU Kementerian Negara) DPR-RI sebagai kementerian
negara. Kedua, menjadikan program perlindungan anak di Indonesia menjadi sebuah
program prioritas bagi pemerintah dalam menjawab komitmen negara sebagai negara
yang meratifikasi Konvensi Hak Anak.
Ketiga, mengeluarkan kebijakan negara yang bersifat teknis
dalam melindungi anak dari segala pelanggaran hak anak seperti tindak
kekerasan, diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya. Keempat,
merealisasi anggaran pendidikan sebesar 20% sebagaimana yang dimandatkan UUD
45, dan memberikan akta kelahiran gratis sebagai salah satu hak identitas warga
bangsa dan sebagai implementasi pelaksanaan UU 23/2002 tentang Perlindungan
Anak.
Kelima, menyediakan pelayanan publik komprehensif dan
lebih mengedepankan kepentingan masyarakat serta anak pada khususnya tanpa
diskriminasi dengan menyediakan sarana pendidikan dan kesehatan secara gratis
bagi semua anak Indonesia. Keenam, negara bertanggung jawab dalam menghentikan
tayangan-tayangan kekerasan, mistik, pornografi, dan tayangan lainnya yang
tidak mendidik bagi proses tumbuh kembang anak.
referensi : Makalah Sistem Hukum Indonesia
Perspektif HAM Terhadap Anak Jalanan